Jumat, 22 Agustus 2008

Top 100 Situs Indonesia Paling diCari

Ringkasan ini tidak tersedia. Harap klik di sini untuk melihat postingan.

Selasa, 12 Agustus 2008

Daya Dukung Lahan Tanaman Pangan di Minahasa Selatan

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris, di mana sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian. Lahan pertanian yang adalah tempat beraktivitas bagi kaum petani, kini sekarang mulai mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh semakin besarnya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian. 
Pemanfaatan sumber daya lahan yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya bertujuan untuk membantu mencapai kesejahteraannya. Usaha dalam mencapai kesejahteraan pada umumnya sebagian besar ditentukan oleh kemampuan potensi sumber daya lahan dan kemampuan potensi sumber daya manusia. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka potensi sumber daya lahan dan potensi sumber daya manusia harus berjalan dengan seimbang.
Jumlah penduduk yang terus meningkat membuat semakin banyak pula aktivitas pembangunan yang dilakukan seperti pembangunan perumahan, perkantoran, dan lain-lain sebagainya. Hal ini telah meyebabkan kemampuan lahan pertanian untuk menghasilkan kebutuhan makanan bagi manusia semakin hari semakin berkurang. Padahal jumlah permintaan akan kebutuhan makanan semakin hari semakin bertambah seiring bertambahnya jumlah penduduk.
Indonesia memiliki luas lahan pertanian yang cenderung tetap dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin besar akan menyebabkan ketersediaan lahan pertanian menjadi semakin kecil. Apabila hal ini dibiarkan, akibatnya akan terjadi ketidakseimbangan penduduk yang bekerja sebagai petani pada suatu wilayah dengan luas lahan pertanian yang tersedia. Selain itu, tekanan pertumbuhan penduduk pada lahan pertanian yang semakin besar menyebabkan wilayah tersebut tidak mampu lagi memenuhi semua kebutuhan pangan penduduknya, karena banyak lahan pertanian yang telah berubah fungsi.
Keadaan seperti ini sangat bertentangan, karena pertumbuhan penduduk konsekuensinya adalah meningkatnya permintaan kebutuhan akan bahan makanan. Ketersediaan bahan pangan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Pangan diperlukan oleh manusia sebagai bahan energi dan untuk mengatur metabolisme tubuh. Produksi tanaman pangan bergantung pada tersedianya lahan pertanian dan teknologi yang digunakan (Suharjo, dkk. 1986).
Pertambahan penduduk yang berlangsung terus menerus dari waktu ke waktu menyebabkan permintaan terhadap bahan pangan untuk kehidupan hidup mereka juga semakin meningkat sedangkan luas lahan pertanian cenderung tetap. Oleh karena itu, hal itu harus mampu diatasi oleh daerah dengan cara memanfaatkan dan meningkatkan potensi sumber daya yang ada terutama lahan pertanian. Apabila keadaan ini dibiarkan berlangsung terus menerus maka bukan tidak mungkin produksi bahan pangan tidak seimbang dengan kebutuhan penduduk yang ada. Hal ini berarti bahwa daya dukung lahan pertanian semakin kecil.
Kabupaten Minahasa Selatan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara dengan luas wilayah 1.555,83 Km2 yang dimekarkan pada tahun 2004. Kabupaten Minahasa Selatan setelah pemekaran dibagi menjadi 14 Kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Modoinding, Tompaso Baru, Ranoyapo, Motoling, Tenga, Sinonsayang, Amurang, Tareran, Tumpaan, Kumelembuai, Amurang Timur, Amurang Barat, Tatapaan dan Maesaan. Namun, untuk kecamatan Amurang, Amurang timur, dan Amurang Barat belum dimasukkan dalam penelitian ini sedangkan kecamatan Tatapaan disatukan dengan kecamatan Tumpaan juga Maesaan disatukan dengan kecamatan Tompaso Baru, mengingat data yang digunakan mulai dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Jadi penelitian ini dibatasi dengan sembilan kecamatan yaitu: Modoinding, Tompaso Baru, Ranoyapo, Motoling, Tenga, Sinonsayang, Tareran, Tumpaan, dan Kumelembuai.
Penelitian ini dilakukan khusus pada tanaman pangan di mana akan dilihat seberapa besar daya dukung lahan pertanian tanaman pangan di kabupaten Minahasa Selatan.






Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah seberapa besar daya dukung lahan pertanian tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk, seiring dengan bertambahnya penduduk dari tahun ke tahun di Kabupaten Minahasa Selatan.

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya daya dukung lahan pertanian tanaman pangan yang ada di Kabupaten Minahasa Selatan dikaitkan dengan jumlah penduduk.
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan pihak-pihak terkait tentang pentingnya daya dukung lahan dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk di Kabupaten Minahasa Selatan.

 

TINJAUAN PUSTAKA

Daya Dukung Lahan
Daya dukung lingkungan adalah ukuran kemampuan suatu lingkungan mendukung sejumlah populasi jenis tertentu untuk dapat hidup dalam lingkungan tersebut atau kemampuan sebidang lahan untuk mendukung kehidupan populasi didalamnya agar hidup wajar dan nyaman Soemarwoto (1994).
Menurut Dasman, dkk. (1977), kepadatan populasi merupakan Ratio antara daya dukung lingkungan dan sumber daya yang ada. 
Selanjutnya daya dukung dibedakan atas tiga tingkatan yaitu:
1. Daya dukung lahan maksimum yaitu jumlah maksimum orang yang dapat didukung oleh sumber daya lingkungan pada tingkat sekedar hidup.
2. Daya dukung subsistem yaitu jumlah orang per satuan luas tertentu lebih rendah sehingga persediaan sumber daya (makanan dan kebutuhan lainnya) untuk setiap orang lebih banyak, namun baru mendekati pada tingkat cukup saja.
3. Data dukung optimal, yaitu persediaan makanan dan kebutuhan hidup lainnya adalah cukup.
Suryaatmadja (1989), secara umum menjelaskan daya dukung lingkungan adalah ukuran kemampuan suatu lingkungan mendukung sejumlah populasi jenis tertentu untuk dapat bertahan hidup dalam lingkungan tersebut. Dalam hal ini lingkungan dapat berupa sebidang lahan, suatu wilayah tertentu atau suatu ekosistem tertentu. Kelompok atau sejumlah individu dalam hal ini berupa tumbuh-tumbuhan, hewan atau manusia Pada dasarnya daya dukung lahan tergantung pada persentase lahan yang dapat digunakan untuk pertanian dan produksi pertanian per satuan luas dan waktu.
Notohadiprawiro (1987), mengemukakan bahwa kemampuan lahan menyiratkan daya dukung lahan. Kemampuan lahan adalah mutu lahan yang dinilai secara menyeluruh dan dinilai kemampuan lahan berbeda untuk penggunaan yang berbeda. Dalam kaitannya dengan pemenuhan manusia, maka kemampuan lahan terjabarkan menjadi pengertian daya dukung lahan.
Tingkat pemanfaatan lahan dengan adanya daya dukung lahan menjadi ukuran kelayakan penggunaan lahan. Sebaliknya jika pemakaian lahan telah melampui kemampuan daya dukung lahan, maka pemanfaatan lahan tidak dipakai secara efektif. Dari uraian tadi, secara jelas dapat dikatakan bahwa daya dukung lahan adalah kemampuan bahan pada suatu lahan untuk mendukung kebutuhan manusia dalam bentuk pengunaan lahan, yang pada akhirnya bertujuan adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan dari masyarakat.
Mantra (1986), mengatakan bahwa penurunan daya dukung lahan dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang terus meningkat, luas lahan yang semakin berkurang, persentase jumlah petani dan luas lahan yang diperlukan untuk hidup layak. Sedangkan untuk mengatasi penurunan daya dukung lahan menurut Hardjasoemantri (1989) dapat dilakukan antara lain: konversi lahan, intensifikasi lahan dan konservasi lahan.
Daya dukung lahan pertanian bukanlah besaran yang tetap, melainkan berubah-ubah menurut waktu karena adanya perubahan teknologi dan kebudayaan. Teknologi akan mempengaruhi produktivitas lahan, sedangkan kebudayaan akan meningkatkan hidup setiap individu. Oleh karena itu, perhitungan daya dukung lahan seharusnya dihitung dari data yang dikumpulkan dalam waktu yang cukup lama sehingga dapat mengambarkan keadaan daerah yang sebenarnya.
Variasi tingkat daya dukung lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya disebabkan karena adanya perbedaan dalam aspek penduduk, sumber daya alam, dan pengelolaan atau manajemen. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa penentuan kebijakan, terutama pemilihan dan penentuan alokasi sumber daya serta prioritas program untuk pembangunan harus dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana dengan selalu memperhatikan situasi dan potensi wilayah setempat.
Keseimbangan daya dukung lahan pertanian pada penelitian ini diwujudkan dalam suatu keadaan di mana terdapat jumlah penduduk optimal yang mampu didukung oleh hasil tanaman pangan dari lahan pertanian yang ada di wilayah tersebut. Asumsi yang digunakan adalah sejumlah pertumbuhan penduduk, maka faktor-faktor lain dianggap tetap, sehingga penurunan daya dukung lahan merupakan fungsi kenaikan jumlah penduduk. 
Konsep Tanaman Pangan
Tanaman pangan adalah tanaman-tanaman yang menghasilkan bahan makanan utama seperti padi (menghasilkan beras), palawija (menghasilkan jagung), kacang-kacangan dan umbi-umbian. Tanaman ini dapat diusahakan di atas tanah, tanah sawah, ladang maupun pekarangan (Mubyarto, 1985). Sedangkan swasembada pangan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan pangan seperti serealia (beras dan sejenisnya), palawija, cassava (umbi-umbian) dan lain-lain (Kusnadi dan Santoso dalam istilah pertanian, 2000). 
Tanaman pangan menyediakan unsur-unsur kimia tubuh yang dikenal sebagai zat gizi. Pada gilirannya, zat gizi tersebut menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses dalam tubuh dan membuat lancarnya pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh. Beberapa di antara zat gizi yang disediakan oleh tanaman pangan tersebut disebut zat gizi esensial.

Tekanan Penduduk Terhadap Lahan Pertanian
Kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang terjadi selama ini berkaitan erat dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan pola penyebaran yang kurang seimbang dengan jumlah dan pola penyebaran sumberdaya alam serta daya dukung lingkungan yang ada (Soerjani, 1987).
Masalah kerusakan lingkungan yang paling kritis adalah tekanan penduduk terhadap sektor pertanian. Masalah ini terus meningkat sejalan dengan waktu karena adanya pertambahan penduduk dan dipakainya terus lahan pertanian untuk pembangunan di sektor non pertanian. Akibatnya, pertumbuhan penduduk dan pemanfaatan lahan pertanian untuk pembangunan fisik mendorong masyarakat untuk membuka lahan-lahan pertanian baru yang manjadi salah satu penyebab bencana alam seperti banjir dan longsor. Jumlah penduduk yang terus bertambah menyebabkan ketidakseimbangan, di mana tingkat pertumbuhan penduduk jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat pertambahan luas lahan tanaman pangan. Dilihat dalam hal kependudukan yang meliputi kepadatan penduduk, migrasi penduduk, komposisi penduduk (jenis kelamin, pendidikan, struktur umur, dan mata pencaharian) serta penguasaan/pemilikan lahan.
Penurunan kualitas sumber daya lahan adalah akibat kompleksnya permintaan kebutuhan pemilikan lahan atau pengolahan mengakibatkan terjadinya penurunan daya dukung lahan
Penurunan daya dukung lahan dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang terus meningkat, luas lahan yang semakin berkurang, persentase jumlah petani dan luas lahan yang diperlukan untuk hidup layak (Mantra, 1986). Tekanan penduduk banyak terjadi di wilayah yang mempunyai kemampuan lahan rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan penduduk adalah struktur pekerjaan, kemampuan lahan dan kepadatan agraris.
Adanya pertumbuhan penduduk menyebabkan bertambahnya juga kebutuhan akan bahan sandang, pangan dan papan. Ketidakseimbangan pertambahan produksi pangan dengan pertumbuhan penduduk sangat mempengaruhi keadaan lingkungan hidup di mana yang terjadi lingkungan dieksploitasi besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya, daya lingkungan akan berkurang dan terjadi kerusakan lingkungan yang serius. Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menimbulkan dampak di antaranya adalah meningkatnya kebutuhan lahan baik untuk infrastruktur, sarana pemukiman dan lahan pertanian. Pada kenyataannya terjadi kecendrungan penyempitan lahan untuk pertanian sebagai imbas dari pembangunan fisik suatu daerah.
Keberlanjutan daya dukung lahan sangat ditentukan oleh manusia pemilik atau pengelola lahan. Proses geomorfologi yang terjadi berupa erosi dan gerakan tanah, karena proses tersebut merupakan penyebab terjadinya degradasi lahan. Bentuk penggunaan lahan pada dasarnya adalah wujud nyata dari proses interaksi yang terjadi antara aktivitas-aktivitas manusia dan sumber daya lahan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidupnya (Soerjani, 1987).
Keterbatasan sumber daya yang ada mengharuskan peran perencanaan pembangunan agar dapat mengatur penggunaan sumber daya secara proposional sehingga dapat tercapai kualitas lingkungan hidup yang optimal. Untuk mencapai ini harus ada keseimbangan antara jumlah penduduk dan luas lahan bersama sumber daya yang dikandungnya, khususnya sumber daya yang dapat diperbaharui pada lahan pertanian.
Hubungan antara luas lahan dan penduduk mulai diperhatikan dengan adanya pernyataan Malthus dalam An Essay Population (1978). Pernyataan pokoknya yaitu, ada kecenderungan kuat terjadinya pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada pertumbuhan pasokan bahan makanan terutama disebabkan areal lahan adalah tetap.

Pangan dan Pertumbuhan Penduduk
Pangan merupakan sumber zat-zat yang dibutuhkan bagi pemeliharaan pertumbuhan dan proses metabolisme dalam tubuh (Suhardjo,dkk. 1986). Cukupnya pangan bagi manusia didefinisikan sebagai kebutuhan harian yang memenuhi kebutuhan gizi yaitu sumber kalori atau energi yang berasal dari semua bahan pangan yang berfungsi untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan penggantian jaringan serta sumber vitamin dan mineral (Buckle, dkk, 1987).
Sebagian besar kalori dan protein kita makan berasal dari tumbuhan yaitu 70 kalori dan 50 protein terdapat pada padi, jagung, kacang-kacangan dan ubi-ubian (Soemarwoto, 1994). Apabila pangan diproduksi dalam jumlah yang cukup tersedia di tingkat desa atau masyarakat maka masalah kekurangan gizi dapat diatasi. Menurut Rusli (1995), produksi pangan dalam hal ini beras di Indonesia dalam tahun ke tahun terus meningkat, tetapi pertumbuhan penduduk di Indonesia juga berlangsung dengan cepat. Sehingga mengakibatkan permintaan akan bahan pangan pun semakin meningkat.
 Ketersediaan pangan lebih erat kaitannya dengan masalah penduduk. Lahan pertanian sebagai sumber pangan, luasnya tetap sedangkan pertumbuhan penduduk terus bertambah. Menurut Soemarwoto (1994), walaupun didalam masyarakat terdapat mekanisme untuk mengatur laju pertumbuhan penduduk namun pada kenyataannya di banyak tempat terdapat pula tanda kepadatan penduduk yang telah melampai daya saing. Tanda tersebut dapat dilihat dengan adanya pemanfaatan daerah-daerah yang seharusnya dilindungi dengan menggarap hutan untuk perladangan, penyebrotan hutan lindung serta pemukiman liar pada lahan yang akan digunakan untuk pertanian. Penyalahgunaan fungsi inilah yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.
Populasi yang meningkat menyebabkan banyaknya kebutuhan pangan, namun lingkungan sebagai sumber pangan memiliki keterbatasan. Jika pemanfaatan dan populasi yang dapat didukung oleh tanaman pangan telah melewati batas kemampuan, akan terjadi ketidakseimbangan (Suryaatmadja, 1989). Pertumbuhan penduduk yang demikian pesat akan memerlukan energi/kalori yang tinggi. Hal ini akan menimbulkan permintaan terhadap bahan pangan.

Perhitungan Kebutuhan Fisik Minimum
Dalam suatu wilayah yang sama, daya dukung dapat berbeda karena pendekatannya yang berbeda. Untuk daerah-daerah yang sebagian besar penduduknya hidup dari sektor pertanian daya dihitung dari produksi bahan makanan. Segi perhitungan dapat dihitung dari Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) yang didasarkan atas kebutuhan kalori per hari yaitu 2600 kalori per orang per hari atau 265 kilogram beras per orang per tahun. Wilayah yang mampu memberikan kehidupan yang layak bagi penduduk dengan menggantungkan hidupnya pada tanaman pangan adalah wilayah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup penduduk dalam taraf yang layak yaitu setara dengan 650 kilogram/beras/orang atau 2,466 kali KFM (Suhardjo dan Tukiran, 1990). .
Pemakaian kalori sebagai dasar perhitungan atas pertimbangan bahwa untuk hidup sehari seseorang memerlukan sejumlah protein tertentu yang berasal dari bahan makanan yang berbentuk bahan protein, lemak dan karbohidrat ditambah dengan mineral dan vitamin. Dengan dasar kalori ini, semua bahan makanan telah tercakup di dalamnya. Pertimbangan lain adalah karena hasil pertanian sebagian besar berupa karbohidrat seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang hijau dan kacang tanah yang merupakan sumber kalori terbesar dalam komposisi bahan makanan (Suhardjo dan Tukiran, 1990).
 

METODOLOGI PENELITIAN

Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari :
1. Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Minahasa Selatan
2. Kantor Biro Pusat Statistik Kabupaten Minahasa Selatan
3. Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa Selatan

Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Luas panen tanaman pangan (Ha)/Tahun
2 Produksi tanaman pangan yang dimaksud adalah produksi padi, produksi jagung, produksi kacang kacangan dan produksi umbi-umbian.
3 Jumlah kalori tanaman pangan adalah masing-masing tanaman pangan. Dimana I kilogram beras sebesar 3.600 kalori, 1 kilogram jagung sebesar 3610 kalori, 1 kilogram ubi kayu sebesar 1.460 kalori, 1 kilogram ubi jalar sebesar 1.230 kalori, 1 kilogram kacang tanah sebesar 4.520 kalori dan 1 kilogram kedelai sebesar 3.310 kalori.
4 Jumlah penduduk (Jiwa).

Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah untuk menentukan tingkat daya dukung lahan pertanian. Analisis data yang ada, diolah dengan menggunakan rumus matematika dari konsep gabungan atas teori Odum, Christeiler, Ebenezer Howard dan Issard dalam Soehardjo dan Tukiran (1990), yaitu:
 
 
Di mana : ? = Tingkat daya dukung lahan pertanian
 X = Luas panen tanaman per kapita
 K = Luas lahan untuk swasembada pangan 
Dengan





atau:




Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan yaitu bulan Mei sampai bulan Juli. Mulai dari persiapan sampai penyusunan laporan hasil penelitian. Tempat penelitian di Kabupaten Minahasa Selatan.

 

DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Letak Geografis dan Luas Wilayah
Minahasa Selatan adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yang dimekarkan dari Kabupaten Minahasa pada tahun 2003. Ibukota Kabupaten Minahasa Selatan adalah Amurang, yang berjarak sekitar 64 Km dari Manado, ibukota Provinsi Sulawesi Utara. Batas-batas Kabupaten Minahasa Selatan adalah sebagai berikut:
- Sebelah Utara dengan Kabupaten Minahasa
- Sebelah Timur dengan Laut Maluku
- Sebelah Selatan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow
- Sebelah Barat dengan Laut Sulawesi
Luas wilayah Kabupaten Minahasa Selatan adalah 1.119,34 Km2. Kecamatan terluas yaitu Tenga (196,31 Km2) dan kecamatan terkecil yaitu Modoinding (66,40 Km2).

Topografi
Sebagian besar wilayah Minahasa Selatan memiliki topografi bergunung-gunung yang membentang dari utara ke selatan. Diantaranya terdapat beberapa gunung berapi yang masih aktif, yaitu Gunung Soputan (1.780 Meter).
Kabupaten Minahasa mempunyai sumber daya lahan yang cukup potensial untuk dimanfaatkan dan didayagunakan terutama untuk lahan tanaman pangan dan tanaman hortikultura serta jenis tanaman lainnya.

 

Tabel 1. Luas Wilayah Kabupaten Minahasa Selatan Menurut Kecamatan
Tahun 2007
No. Kecamatan Luas Wilayah (Km2)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9. Modoinding
Tompaso Baru
Ranoyapo
Motoling
Tenga
Sinonsayang
Tareran
Tumpaan
Kumelembuai 66,40
  241,90
  134,40
  125,93
  196,31
  108,36
  98,20
  183,60
  97,24
 Total 1.252,34
Sumber : BPS Kabupaten Minahasa Selatan, 2008

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa kecamatan Tompaso Baru merupakan kecamatan yang memiliki luas wilayah yang paling besar, sedangkan kecamatan Modoinding merupakan kecamatan yang memilki luas wilayah terkecil.

Penduduk
Data demografi dari kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Minahasa Selatan tahun 2007, memperlihatkan jumlah penduduk di Kabupaten Minahasa Selatan yang tersebar di kecamatan-kecamatan adalah sebanyak 159.744 jiwa dan dengan jumlah kepadatan penduduk sebanyak 1.264,37 jiwa/Km2. Penyebaran jumlah penduduk di 9 kecamatan yang ada di Minahasa Selatan dapat dilihat pada Tabel 2.

 

Tabel 2. Kepadatan Penduduk berdasarkan Jumlah Penduduk dibagi Luas Wilayah
No. Kecamatan Luas Wilayah
(Km2) Jumlah Penduduk
(Jiwa) Kepadatan Penduduk
(Jumlah Pddk/Luas Wilayah)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9. Modoinding
Tompaso Baru
Ranoyapo
Motoling
Tenga
Sinonsayang
Tareran
Tumpaan
Kumelembuai 66,40
  241,90
  134,40
  125,93
  196,31
  108,36
  98,20
  183,60
  97,24 14.158
  22.627
  15.745
  16.176
  17.287
  15.323
  21.899
  23.999
  12.530 213,22
  93,54
  117,15
  128,45
  88,05
  141,40
  223,00
  130,71
  128,85
 Total 1.252,34 159.744 1.264,37
Sumber : BPS Kabupaten Minahasa Selatan, 2008

Pada Tabel 2 menunjukkan di kabupaten Minahasa Selatan, jumlah kepadatan penduduk terbesar terdapat di kecamatan Tareran yaitu 223,00 jiwa/Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 21.899 yang tersebar di 98,20 Km2. Sedangkan kepadatan penduduk terkecil yaitu pada kecamatan Tenga yaitu 88,05 jiwa/Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 17.287 jiwa yang tersebar di 196,31 Km2.

 
HASIL DAN PEMBAHASAN

Tata Guna Lahan
Tata guna lahan merupakan usaha untuk mengatur dan memanfaatkan lahan serta sumberdayanya agar lahan tersebut dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Di samping itu tata guna air yang merupakan usaha untuk mengatur penggunaan air secara merata, efektif dan efisien. Dengan tata guna lahan dan tata guna air, diharapkan penggunaan lahan dan air dapat meningkatkan produksi pertanian (Jayadinata, 1986).
Pemanfaatan tanah dan penggunaan lahan diusahakan seoptimal mungkin, mengingat setiap pembangunan memerlukan lahan. Kepentingan manusia terhadap lahan semakin meningkat sedangkan luas lahan cenderung tetap, sehingga tidak mustahil dalam pembangunan, persengketaan tanah sering terjadi.
Tanah atau lahan mempunyai kaitan yang erat dengan pertanian dan desa. Seiring dengan berjalannya waktu, situasi dan kondisi pembangunan sektor pertanian berada pada posisi yang bersaing ketat dengan pembangunan lain seperti industri, prasarana umum, pertanian, perkantoran serta bangunan sekolah untuk pendidikan dan prasarana sosial lainnya (Sadholi, 1991).
Luas wilayah kecamatan dapat dibagi dalam kategori pemanfaatan lahan untuk pekarangan/tanah untuk bangunan dan halaman 5.923 Ha; untuk Tegelan, kebun dan ladang 38.976 Ha: Tanah yang sementara tidak diusahakan 15.014 Ha; Tanah untuk tanaman kayu-kayuan 23.261 Ha; Sawah 5.708 Ha; lain-lain 14.775 Ha; Kolam 486 Ha; Perkebuanan 20,631 Ha; Jumlah lahan kering 80.544 Ha; dan Jumlah luas wilayah keseluruhan 125.234 Ha. Secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 3.

 

Tabel 3. Luas Lahan Menurut Penggunaan per Kecamatan di Kabupaten Minahasa Selatan Tahun 2007 (dalam satuan Ha)
No. Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9. Modoinding
Tompaso Baru
Ranoyapo
Motoling
Tenga
Sinonsayang
Tareran
Tumpaan
Kumelembuai 226
1.419
  262
  410
1.306
  510
  414
1.024
  352 5.467
  3.279
  4.286
  1.964
  8.476
  4.220
  5.977
  3.804
  1.503 214
  2.461
  1.183
  524
  2.600
  3.491
  962
  2.628
  951 10
7.837
  310
  8.257
  1.825
  219
  482
  3.462
  859 154
1.920
1.078
120
756
340
410
910
20 494
3.881
5.391
360
1.861
539
365
1.484
400 25
123
-
10
13
-
63
242
10 37
2.683
930
948
2.794
1.657
1.147
4.806
5.629 5.944
9.842
6.661
3.846
15.176
9.878
8.500
12.262
8.435 6.640
  24.190
  13.440
  12.593
  19.631
  10.836
  9.820
  18.360
  9.724
 T o t a l 5.923 38.976 15.014 23.261 5.708 14.775 486 20.631 80.544 125.234
Sumber: Dinas Pertanian Minahasa Selatan, 2008
Keterangan : 
1. Pekarangan/tanah untuk bangunan
2. Tegelan, Kebun dan Ladang
3. Tanah yang sementara tidak diusahakan
4. Tanah untuk tanaman Kayu-kayuan
5. Sawah
6. Lain-lain
7. Kolam
8. Perkebunan
9. Jumlah lahan kering
10. Jumlah luas wilayah

Tabel 3 memperlihatkan masing-masing luas lahan yang ada di setiap kecamatan di Minahasa Selatan. Kecamatan Tompaso Baru (1.419 Ha) merupakan kecamatan yang memiliki luas pekarangan yang terbesar, sedangkan untuk tegelan, kebun dan ladang adalah kecamatan adalah Tenga (8.476 Ha). Luas tanah yang tidak sementara diusahakan yang terluas berada di kecamatan Sinonsayang (3.491 Ha), tanah untuk tanaman kayu-kayuan yaitu kecamatan Motoling (8.257 Ha), kecamatan Tompaso Baru merupakan kecamatan yang memiliki luas sawah yang terbesar yaitu 1.920 Ha, sedangkan lahan lain-lain yaitu sebesar 5.391 Ha berada di kecamatan Ranoyapo. Untuk luas kolam yang terbesar ada di kecamatan Tumpaan, sedangkan kecamatan yang memiliki luas perkebunan terbesar yaitu kecamatan Kumelembuai (5.629 Ha) dan luas lahan kering terbesar ada di kecamatan Tenga yaitu 15.176 Ha.

Produksi dan Luas Panen
Produksi pertanian yang tinggi dipengaruhi banyak faktor, di antaranya faktor kesuburan tanah, ada tidaknya serangan hama dan penyakit, teknik budidaya dan pemeliharaan yang baik. Di samping itu, kemampuan untuk mencari pasar yang memungkinkan untuk peningkatan volume penjualan merupakan faktor yang tak kalah penting. Produksi dan luas lahan perkomoditi di Kabupaten Minahasa Selatan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Capaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Minahasa Selatan Tahun 2007
Komoditas Luas Tanam
(Ha) Luas Panen
(Ha) Produktivitas
(Ton/Ha) Produksi
(Ton)
Padi Sawah 11.883 11.691 4.806 56.191,1
Padi Ladang 742 658 2.467 1.623,1
Jagung 15.678 15.575 3.713 57.830,4
Kedelai 337 327 1.603 524,0
Kacang Tanah 75 41 1.806 74,0
Kacang Hijau 22 20 1.223 24,5
Ubi Jalar 165 156 12.450 1.942,9
Ubi Kayu 109 94 9.116 856,9
Sumber: Dinas Pertanian Minahasa Selatan, 2008

Tabel 4 menunjukkan bahwa komoditi Jagung memiliki luas tanam dan luas panen terbesar di kabupaten Minahasa Selatan, sedangkan untuk produktivitas terbesar di kabupaten Minahasa Selatan adalah komoditi Ubi Jalar. Komoditi jagung merupakan produksi komoditi terbanyak yaitu 57.830,4 ton.


 
Daya Dukung Lahan Pertanian
1. Luas lahan Tanaman Pangan yang Diperlukan per Kapita untuk Swasembada Pangan
Luas lahan tanaman pangan yang dibutuhkan per kapita untuk swasembada pangan "K" (Ha/orang), merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perhitungan tingkat daya dukung lahan pertanian. Nilai "K" diperhitungkan dengan membagi nilai kebutuhan fisik minimum (KFM) dengan produksi tanaman per hektar per tahun. Nilai "K" yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada kebutuhan fisik minimum setara dengan 2600 kalori per hari atau setara dengan 265 Kg beras perkapita per tahun (BPS, 1989). Nilai ini akan dibandingkan dengan produksi tanaman pangan per hektar dari tiap daerah, sehingga nilai "K" antar daerah dan antar waktu berbeda tergantung keberhasilan sistem pertanian dalam produksi tanaman pangan.
Kondisi daya dukung lahan pertanian optimal terjadi bila penduduk dengan luas lahan tanaman pangan "K" Ha tidak merasa perlu untuk memperluas lahannya, sedangkan apabila luas lahan tanaman pangan yang dimiliki kurang dari luas lahan tanaman pangan yang dibutuhkan per kapita untuk swasembada pangan maka daya dukung lahan pertanian akan terlampaui dan cenderung mengalami penurunan. Semakin kecil nilai "K" maka tingkat daya dukung lahan pertanian akan semakin baik. Luas lahan tanaman pangan yang dibutuhkan per kapita untuk swasembada pangan nilainya selalu berubah-ubah menurut waktu dan ruang, karena dipengaruhi oleh kebutuhan fisik minimum dan kemampuan lahan untuk memproduksi tanaman pangan. Nilai-nilai ini akan selalu berubah-ubah antara satu daerah dengan daearah yang lain sehingga perhitungan tingkat daya dukung lahan pertanian akan sulit untuk dilakukan. Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu luas lahan tanaman pangan yang dibutuhkan per kapita untuk swasembada pangan di setiap daerah. Dengan membandingkan antara nilai "K" dan luas panen serta jumlah penduduk maka akan dapat ditentukan apakah suatu daerah masih mampu untuk swasembada pangan atau tidak.
Hasil analisis data dengan ukuran tersebut (Tabel 5) menunjukkan bahwa luas lahan tanaman pangan yang dibutuhkan per kapita untuk swasembada pangan bagi setiap penduduk di Kabupaten Minahasa Selatan dari tahun 2003-2007 rata-rata sebesar 0,058 Ha/orang. Dari perhitungan yang diperoleh, nilai K ini bervariasi, di mana nilai tertinggi pada Kecamatan Kumelembuai yaitu sebesar 0,196 Ha/orang dan terendah di Kecamatan Tompaso Baru yaitu sebesar 0,010 Ha/orang. Dari 9 kecamatan ada 3 kecamatan yang memiliki nilai di atas rata-rata Kabupaten Minahasa Selatan, antara 0,058 - 0,196 Ha/orang.
Bila dibandingkan antara nilai K yang dimiliki oleh Kabupaten Minahasa Selatan (0,058 Ha/orang) dengan luas lahan pertanian yang ada di seluruh Kabupaten Minahasa Selatan (47940 Ha), maka lahan petanian masih mampu mendukung penduduk untuk mencapai swasembada pangan. Dengan demikian perlu adanya usaha untuk menjaga nilai K agar bisa tetap atau semakin menurun, sehingga daya dukung lahan pertanian akan meningkat. Untuk itu perlu adanya usaha untuk menurunkan nilai K, seperti peningkatan produktivitas tanaman pertanian, atau memperluas areal tanaman pangan.

Tabel 5. Rata-rata Luas Lahan Tanaman Pangan dan Luas Panen Tanaman Pangan di Kabupaten Minahasa Selatan Tahun 2003-2007
No. Kecamatan Rata-rata Luas Panen Tanaman per Kapita untuk Swasembada Pangan 
(K) Rata-rata Luas Panen Tanaman Pangan yang Tersedia per Kapita 
(X)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9. Modoinding
Tompaso Baru
Ranoyapo
Motoling
Kumelembuai
Sinonsayang
Tenga
Tareran
Tumpaan
 0,086
  0,010*
0,023
0,064
  0,196**
0,046
0,027
0,046
0,026 0,054
  0,300*
0,172
0,104
  0,051**
0,114
0,135
0,074
0,115
Minahasa Selatan 0,058 0,124
Sumber : Diolah dari Lampiran 1-5, 2008
Keterangan : * Nilai Terbaik
  ** Nilai Terburuk

Hasil perhitungan Tabel 5 memperlihatkan bahwa rata-rata luas panen tanaman per kapita untuk swasembada pangan yang terbaik adalah kecamatan Tompaso Baru dan kecamatan Ranoyapo merupakan kecamatan yang mendapat nilai terbaik untuk rata-rata luas panen tanaman pangan yang tersedia per kapita. Sedangkan untuk nilai terburuk dari rata-rata luas panen tanaman per kapita untuk swasembada pangan dan rata-rata luas panen tanaman pangan yang tersedia per kapita adalah kecamatan Kumelembuai. Jadi, kecamatan Kumelembuai perlu mengembangkan kecamatannya agar dapat memberikan nilai terbaik bagi daerahnya.

2. Luas Panen Tanaman Pangan yang Tersedia per Kapita
Komponen lain yang penting dalam perhitungan daya dukung lahan pertanian adalah luas panen tanaman pangan yang tersedia per kapita (X). Nilai X ini diperoleh dari luas tanaman pangan pada suatu daerah dibagi dengan jumlah penduduk pada daerah tersebut. Luas panen tanaman pangan ini nilainya selalu berubah-ubah baik antar daerah maupun antar waktu. Nilai X ini merupakan kebalikan dari nilai K, karena semakin besar nilai X maka akan semakin baik tingkat daya dukung lahan pertanian di daerah tersebut.
Tabel 5 menunjukkan hasil perhitungan nilai X dan nilai K bahwa, selama kurun waktu lima tahun (2003-2007) rata-rata luas panen tanaman pangan per kapita di Kabupaten Minahasa Selatan sebesar 0,124 Ha/orang. Nilai X di antara kecamatan cukup bervariasi. Dari ke 9 kecamatan yang diteliti ada 3 kecamatan yang memiliki X rata-rata lebih tinggi dari nilai rata-rata Kabupaten Minahasa Selatan, yaitu Tompaso Baru, Ranoyapo, dan Tenga.

Tingkat Daya Dukung Lahan Pertanian
Tabel 6 menunjukkan perhitungan tingkat daya dukung pertanian rata-rata tiap kecamatan di Kabupaten Minahasa Selatan selama lima tahun (2003-2007). Variasi tingkat daya dukung lahan pertanian disebabkan oleh produksi tanaman pangan dan jumlah penduduk yang bervariasi pula.

 

Tabel 6. Tingkat Daya Dukung LahanPertaian di Kabupaten Minahasa Selatan Tahun 2003-2007
No. Kecamatan Tingkat Daya Dukung Lahan Pertanian per Tahun
  2003 2004 2005 2006 2007 Rata-rata
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9. Modoinding
Tompaso Baru
Ranoyapo
Motoling
Tenga
Sinonsayang
Tareran
Tumpaan
Kumelembuai -
15,571
4,931
0,164
2,270
1,184
1,521
2,575
0,064 0,943
15,857
5,370
0,179
2,421
1,684
1,687
2,812
0,064 1,186
59,571
7,818
2,386
9,722
3,050
1,017
3,275
0,883 0,495
34,111
8,727
1,177
4,880
3,050
1,975
5,391
0,596 0,146
41,750
11,666
1,538
11,666
4,030
2,162
12,133
0,922 0,054
33,372
7,702
1,089
6,192
2,599
1,672
5,237
0,505
 Rata-rata 3,142 3,446 9,878 6,711 9,557 6,491
Sumber : Diolah dari Lampiran 1-5, 2008
Keterangan : Rata-rata perkembangan dalam satuan persen per tahun
 
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa rata-rata tingkat daya dukung lahan per kecamatan terendah sebesar 0,054 pada Kecamatan Modoinding dan tertinggi pada Kecamatan Tompaso Baru sebesar 33,372. Sedangkan pada tingkat kabupaten sebesar 6,491. Dari ke sembilan kecamatan yang diteliti di kabupaten Minahasa Selatan, ada dua kecamatan yang memiliki rata-rata tingkat daya dukung lahan pertanian lebih tinggi dari tingkat kabupaten.
Nilai rata-rata Kabupaten Minahasa Selatan yang lebih besar dari satu berarti bahwa keseluruhan ketersediaan bahan pangan di Kabupaten Minahasa Selatan sangat mencukupi untuk mendukung kehidupan penduduknya. Dengan demikian Kabupaten Minahasa Selatan merupakan sentra produksi tanaman pangan.

 

Klasifikasi Tingkat Daya Dukung Lahan Pertanian
Wilayah yang mampu swasembada pangan adalah wilayah yang dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum (KFM) penduduk sebesar 2.600 kalori/orang/hari atau setara dengan 265 kilogram beras/orang/tahun. Sedangkan untuk wilayah yang mampu memberikan kehidupan yang layak bagi penduduk yang tergantung pada tanaman pangan adalah wilayah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup penduduk dalam taraf hidup yang layak yaitu setara dengan 650 kilogram beras/orang/tahun atau 2,466 kali KFM. Berdasarkan nilai-nilai tersebut maka klasifikasi yang ditetapkan adalah:
1. Kelas I > 2,466 : Wilayah yang mampu swasembada pangan  
dan mampu memberikan kehidupan yang layak bagi penduduknya.
2. Kelas II 2,466 : Wilayah yang mampu swasembada pangan 
tetapi belum mampu memberikan kehidupan
yang layak bagi penduduknya.
3. Kelas III < I : Wilayah yang belum mampu swasembada 
pangan 
 Dari hasil perhitungan rata-rata perkembangan daya dukung lahan pertanian pada tingkat kabupaten di Minahasa Selatan tahun 2003-2007, maka distribusi daya dukung lahan pertanian pada tiap-tiap kelas adalah seperti pada Tabel 7.

 
Tabel 7. Klasifikasi Rata-rata Tingkat Daya Dukung Lahan Pertanian Kabupaten Minahasa Selatan tahun 2003-2007
Kelas Daya Dukung Lahan Pertanian Jumlah Kecamatan Lokasi
Kecamatan
  Jumlah % 
I ? > 2,466 5 55,55 Tompaso Baru, Ranoyapo, Tumpaan, Tenga, Sinonsayang
II 2,466
2 22,22 Motoling, Tareran
III < 1
2 22,22 Modoinding, Kumelembuai
 T o t a l 9 100,00 
Sumber : Analisis Data Sekunder, Hasil Perhitungan Analisis Daya Dukung Lahan Pertanian Kabupaten Minahasa Selatan Tahun 2003-2007

Tabel 7 menunjukkan bahwa terdapat lima kecamatan (66,66 persen) yang memiliki klasifikasi kelas I. sedangkan klasifikasi kelas II dan klasifikasi kelas III masing-masing sebanyak 2 Kecamatan (22,22 persen). Hal ini berarti bahwa sebagian besar kecamatan di wilayah Kabupaten Minahasa Selatan sudah mampu untuk swasembada pangan. Hanya sebagian kecil yang tidak mampu untuk swasembada pangan.

Jumlah Penduduk Optimal
Daya dukung lahan yang seimbang ditentukan apabila luas lahan pertanian yang ada pada suatu wilayah dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum penduduknya. Keseimbangan daya dukung lahan pertanian pada penelitian ini diwujudkan dalam suatu keadaan di mana jumlah penduduk optimal yang mampu didukung oleh hasil tanaman pangan dari lahan pertanian yang ada. Asumsi yang digunakan adalah selain jumlah dan pertumbuhan penduduk maka faktor-faktor lain yang mempengaruhi daya dukung lahan pertanian dianggap tetap. Sehingga penurunan daya dukung lahan pertanian merupakan fungsi dari kenaikan jumlah penduduk.

JPO = x Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk optimal dalam penelitian ini adalah banyaknya jiwa yang dapat didukung oleh lahan pertanian yang ada. Apabila jumlah penduduk optimal dan diperoleh lebih kecil dari jumlah penduduk yang terdata maka diperlukan penambahan luas panen yang dapat mendukung kehidupan penduduk tersebut.

Tabel 8. Jumlah Penduduk Optimal (JPO) Tahun 2007
No. Kecamatan Jumlah Penduduk
(jiwa) Daya Dukung Lahan
(DDL) Jumlah Penduduk Optimal
(JPO)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9. Modoinding
Tompaso Baru
Ranoyapo
Motoling
Tenga
Sinonsayang
Tareran
Tumpaan
Kumelembuai 14.158
11.776
15.745
16.176
17.287
15.323
21.899
15.260
12.530 0,054
33,372
  7,702
  1,089
  6,192
  2,599
  1,672
  5,237
  0,505 764
392.988
121.267
  17.615
107.041
  39.824
  36.615
  79.916
  6.327
Sumber : Analisis Data Sekunder, 2007

Tabel 8 menunjukkan bahwa Kecamatan Modoinding dan Kumelembuai memerlukan tambahan luas panen karena jumlah penduduk optimal lebih kecil dari jumlah penduduk yang terdata. Sedangkan daya dukung lahan yang dimiliki Tompaso Baru, Ranoyapo, Motoling, Tenga, Sinonsayang, Tareran dan Tumpaan dapat memenuhi semua kebutuhan penduduk yang ada karena jumlah penduduk optimal lebih besar dari jumlah penduduk yang terdata.



 
KESIMPULAN DAN SARAN
   
Kesimpulan
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya dukung lahan pertanian tanaman pangan di Kabupaten Minahasa Selatan selama periode 2003-3007 sebesar 6,491 yang berarti bahwa lahan pertanian yang ada mampu mendukung kebutuhan pangan penduduknya.
2. Wilayah yang mempunyai daya dukung lahan pertanian tinggi > 2,466) sebanyak 4 kecamatan (Tompaso Baru, Ranoyapo, Tumpaan, Tenga, Sinonsayang). Pada wilayah ini produksi pangan sudah mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya bahkan mampu untuk memberikan hidup yang layak bagi penduduk dari sektor pertanian tanaman pangan. Wilayah yang daya dukungnya sedang 2,466) sebanyak 2 kecamatan (Motoling, Tareran). Pada wilayah ini sudah mampu untuk swasembada pangan tetapi belum memberikan kehidupan yang layak bagi penduduknua jika hanya bergantung pada sektor pertanian tanaman pangan. Daya dukung pertanian rendah < I) ada pada 2 kecamatan (Modoinding, Kumelembuai). Pada wilayah ini belum mampu untuk swasembada pangan atau telah terjadi tekanan penduduk terhadap lahan pertanian
3. Perkembangan daya dukung lahan pertanian tanaman pangan banyak dipengaruhi oleh faktor sumber daya alam yang meliputi luas panen tanaman pangan, luas lahan yang dibutuhkan untuk swasembada dan faktor kependudukan yang meliputi jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk.
  
Saran
1. Sektor pertanian merupakan sektor yang dominan dalam pembangunan Kabupaten Minahasa Selatan, maka dalam pembangunan daerah khususnya pembangunan sektoral hendaknya berbasis pada sektor pertanian dengan melihat potensi pengembangan pada wilayah yang memiliki daya dukung lahan pertanian tinggi
2. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan daya dukung lahan pertanian terutama pada wilayah yang berpotensi untuk dikembangkan.
3. Wilayah-wilayah yang memiliki tingkat daya dukung lahan pertanian yang rendah sebaiknya diprioritaskan untuk pengembangan komoditas pertanian lain sesuai dengan potensi wilayahnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Adiratma, 2004. Stop Pangan Padi, Penebar Swadaya. Jakarta

Anonimous. 2003. Minahasa Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Kabupaten Minahasa, Tondano.

_________2004-2007. Minahasa Selatan Dalam Angka, Biro Pusat Statistik Kabupaten Minahasa Selatan, Amurang.

Dinas Pertanian Kabupaten Minahasa Selatan. 2004-2007. Laporan Tahunan SP - VA Tahun 2007, Amurang

Biro Pusat Statistik. 1989. Nilai rata-rata dan Indeks Kebutuhan Fisik Minimum 1989-1993. BPS Jakarta. Indonesia.

Buckie, K. A. Edwards. R. A. Fleet. G. H dan Wootan. M. 1987. Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Dasman. R. F. J. P Milton dan P. H. Freeman. 1997. Prinsip Ekologi Untuk Pembangunan Ekonomi. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.

Hardjasoemantri. 1989. Pengantar Tata Lingkungan. Edisi keempat. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada Press.

Jayadinata. 1986. Pengantar Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian Institut, Pertanian Bogor.

Kusnadi dan Santoso. 2000. Kamus istilah Pertanian. Cetakan kelima Kanisius, Yogyakarta.

Mantra. I. B. 1986. Pengantar Studi Demografi. Nur Cahaya, Yogyakarta.

Mubyarto. 1985. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3S, Jakarta.

Notahadiprawiro. 1987. Tanah Tata Guna Lahan Dan Tata Ruang Dalam Analisis Dampak Lingkungan. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Rusli. S. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3S, Jakarta.

Sadholi. 1991. Ekonomi Produksi Pertanian. Bogor:Institut Pertanian Bogor Press
Soerjani. 1987. Lingkungan Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Suhardjo dan Tukiran. 1990. Studi Literatur Konsep yang Sudah ada Mengenai Daya Tampung Wilayah. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta.

Soemarwoto. 1994. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan Penerbit. Djambatan, Jakarta.

Suryaamadja. 1989. Studi Lingkungan Hidup. Penerbit Alumni, Bandung.